HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
1.
Hak-hak konsumen
Sebagai pemakai
barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang
hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang
kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU
Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
·
Hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak untuk memilih dan
mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan .
·
Hak atas informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·
Hak untuk didengar
pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
·
Hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
·
Hak untuk mendapatkan
pembinaan dan pendidikan konsumen.
·
Hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
·
Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak
dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7,
yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan
antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen.
selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari
akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan
bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering
dilakukan secara tidak
jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia
persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti
telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU
No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur
tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
2. Kewajiban
Konsumen
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen
adalah :
·
Membaca atau mengikuti
petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau
jasa, demi keamanan dan keselamatan.
·
Beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
·
Membayar sesuai dengan
nilai tukar yang disepakati.
·
Mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
1. Hak
Pelaku Usaha
Seperti halnya
konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
·
Hak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak untuk mendapat
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
·
Hak untuk melakukan
pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
·
Hak untuk rehabilitasi
nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak-hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Kewajiban
Pelaku Usaha
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
·
Beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya.
·
Memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
·
Memperlakukan atau
melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
·
Menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
·
Memberi kesempatan
kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu
serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
·
Memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·
Memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan
dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik
dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban
konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan
dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa
pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus
melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17
UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok,
yakni:
1. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi
pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
·
Tidak memenuhi atau
tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
·
Tidak sesuai dengan
berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·
Tidak sesuai dengan
ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya;
·
Tidak sesuai dengan
kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label,
etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak sesuai dengan
mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan
tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
·
Tidak sesuai dengan
janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik
atas barang tertentu;
·
Tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label.
·
Tidak memasang label
atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi
bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
·
Tidak mencantumkan
informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha
diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan
minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap
daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki
itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2)
dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha
dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3) Pelaku usaha
dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau
bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
UU PK tidak memberikan
keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila
kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan
sebagai berikut:
·
Rusak: sudah tidak
sempurna (baik, utuh) lagi.
·
Cacat: kekurangan yang
menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
·
Bekas: sudah pernah
dipakai.
·
Tercemar: menjadi
cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit
untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda
tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih
dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti
pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda
tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak
berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir
dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha
harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai
akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang
nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19
mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan
atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal
20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27
disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian
yand diderita konsumen, apabila :
·
Barang tersebut
terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
·
Cacat barang timbul
pada kemudian hari.
·
Cacat timul akibat
ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
·
Kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu
penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang
diperjanjikan
SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku
Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Gan
Sanksi Perdata :
Gan
ti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
* Hukuman tambahan ,
antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen
Iklan
sebuah produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku.
Namun, bahasa iklan tidak selalu seindah kenyataan. Konsumen acapkali merasa
tertipu iklan.
Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dikelabui saat membeli kendaraan roda empat merek Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah menarik minat perempuan berjilbab ini untuk membeli. Maret tahun lalu, Milla-- begitu Ludmilla Arief biasa disapa—membeli Nissan March di showroom Nissan Warung Buncit, Jakarta Selatan.
Sebulan menggunakan moda transportasi itu, Milla merasakan keganjilan. Ia merasa jargon ‘irit’ dalam iklan tak sesuai kenyataan, malah sebaliknya boros bahan bakar. Penasaran, Milla mencoba menelusuri kebenaran janji ‘irit’ tersebut. Dengan menghitung jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bensin, dia meyakini kendaraan yang digunakannya boros bensin.
“Sampai sekarang saya ingin membuktikan kata-kata city car dan irit dari mobil itu,” ujarnya ditemui wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/4).
Setelah satu bulan pemakaian, Milla menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km). Rute yang sering dilalui Milla adalah Buncit–Kuningan-Buncit. Semuanya di Jakarta Selatan. Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit dan Nissan cabang Halim.
Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,” imbuhnya.
Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. “Saya berharap diadakan road test dengan ada saksi,” kata karyawati swasta itu.
Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari lalu memenangkan Milla. BPSK menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.
Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang lanjutan pada 12 April ini sudah memasuki tahap kesimpulan. Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta.
Sebaliknya, kuasa hukum Milla, David ML Tobing, berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Dikatakan David, kliennya kecewa pada iklan produsen yang tak sesuai kenyataan.“Tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan March dan tidak ada kondisi syarat tertentu. Lalu kenapa tiba-tiba iklan itu ke depannya berubah dengan menuliskan syarat rute kombinasi dan eco-driving. Ini berarti ada unsur manipulasi,” ujarnya usai persidangan.
Kuasa hukum NMI, Hinca Pandjaitan, menepis tudingan David. Menurut Hinca, tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur, dan tidak membohongi konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya dan rujukannya. Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin asumsi merek. Namanya iklan. Itu kan cara menggoda orang,” pungkasnya.
Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dikelabui saat membeli kendaraan roda empat merek Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah menarik minat perempuan berjilbab ini untuk membeli. Maret tahun lalu, Milla-- begitu Ludmilla Arief biasa disapa—membeli Nissan March di showroom Nissan Warung Buncit, Jakarta Selatan.
Sebulan menggunakan moda transportasi itu, Milla merasakan keganjilan. Ia merasa jargon ‘irit’ dalam iklan tak sesuai kenyataan, malah sebaliknya boros bahan bakar. Penasaran, Milla mencoba menelusuri kebenaran janji ‘irit’ tersebut. Dengan menghitung jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bensin, dia meyakini kendaraan yang digunakannya boros bensin.
“Sampai sekarang saya ingin membuktikan kata-kata city car dan irit dari mobil itu,” ujarnya ditemui wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/4).
Setelah satu bulan pemakaian, Milla menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km). Rute yang sering dilalui Milla adalah Buncit–Kuningan-Buncit. Semuanya di Jakarta Selatan. Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit dan Nissan cabang Halim.
Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,” imbuhnya.
Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. “Saya berharap diadakan road test dengan ada saksi,” kata karyawati swasta itu.
Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari lalu memenangkan Milla. BPSK menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.
Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang lanjutan pada 12 April ini sudah memasuki tahap kesimpulan. Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta.
Sebaliknya, kuasa hukum Milla, David ML Tobing, berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Dikatakan David, kliennya kecewa pada iklan produsen yang tak sesuai kenyataan.“Tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan March dan tidak ada kondisi syarat tertentu. Lalu kenapa tiba-tiba iklan itu ke depannya berubah dengan menuliskan syarat rute kombinasi dan eco-driving. Ini berarti ada unsur manipulasi,” ujarnya usai persidangan.
Kuasa hukum NMI, Hinca Pandjaitan, menepis tudingan David. Menurut Hinca, tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur, dan tidak membohongi konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya dan rujukannya. Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin asumsi merek. Namanya iklan. Itu kan cara menggoda orang,” pungkasnya.
Sumber :
Analisis
Iklan memang ditujukan
kepada konsumen agar tertarik untuk membeli produk atau barang yang akan
ditawarkan. Akan tetapi seharusnya iklan itu tidak menjurus ke penipuan, karena
hal tersebut dapat mebuat konsumen hilang kepercayaan terhadap produk yang dikeluarkan
oleh perusahaan tersebut dan akan mengakibatkan kerugian tersendiri bagi
perusahaan tersebut. Dari kasus tersebut konsumen sudah dirugikan terhadap
haknya yaitu Hak atas informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa, Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.Berdasarkan kasus tersebut maka perusahaan
tersebut telah melanggar UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berlaku sejak 20 April
2000 tentang perlindungan konsumen.
Sumber :